Antropoogi Dalam Studi Islam (S1PSI)

A.  Antropoogi Dalam Studi Islam
Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul dengan menetralkan nilai, analisis yang tenang (tidak memihak). Antropologi adalah salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial yang memfokuskan kajiannya pada manusia. Kajian antropologi ini setidaknya dapat ditelusuri pada zaman kolonialisme di era penjajahan yang dilakukan bangsa barat terhadap bangsa-bangsa Asia, Afrika, Amerika Latin, serta suku Indian. Selain menjajah, mereka juga menyebarkan agama Nasrani. Setiap daerah jajahan ditugaskan pegawai kolonial dan misionaris. Selain melaksanakan tugasnya, mereka juga membuat laporan mengenai bahasa, ras, adat istiadat, upacara-upacara, sistem kekerabatan, dan lainnya yang dimanfaatkan untuk kepentingan jajahan.
Perhatian serius terhadap antropologi dimulai pada abad 19. Pada abad ini, antropologi sudah digunakan sebagai pendekatan penelitian yang difokuskan pada kajian asal-usul manusia. Penelitian antropologi ini mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada waktu itu, semua dilakukan dengan ide kunci, ide tentang evolusi.
Antropolog pada masa itu beranggapan bahwa seluruh masyarakat manusia tertata dalam keteraturan seolah sebagai eskalator historis raksasa dan mereka (bangsa Barat) menganggap bahwa mereka sudah menepati posisi puncak, sedangkan bangsa Eropa dan Asia masih berada pada posisi tengah, dan sekelompok lainnya yang masih primitif terdapat pada posisi bawah. Pandangan Antropolog ini mendapat dukungan dari karya Darwin tentang evolusi biologis, namun pada akhirnya teori tersebut ditolak oleh para fundamentalis populis di USA.
Seiring perkembangan zaman, antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala prilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dengan dibekali oleh pendekatan yang holistik dan komitmennya tenang manusia, sesungguhnya antrolopogi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan Antropologi sangat penting untuk memahami agama Islam karena konsep manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan) di bumi, misalnya merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengidentifikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia sesungguhnya adalah persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para Antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai common sense dan religious atau mystical event. Dalam satu sisi, common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi. Sementara itu, religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Penjelasan lain, misalnya diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini – usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama – sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.
Dengan demikian, pemahaman Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantahkan dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, Antropologi diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikan – Islam that is practiced – yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa signifikansi Antropologi dalam studi Islam adalah sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu Antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.


B.  Pendekatan Antropolgi Dalam Memahami Agama: Tinjauan Kritis
Persoalan utama dalam memahami Islam adalah bagaimana memahami manusia. Pergumulan yang dialami manusia sesungguhnya adalah keagamaan. Makna hakiki keberagamaan manusia terletak pada interpretasi dan pengalaman agamanya. Oleh karena itu, Antropologi sangat diperlukan untuk mengkaji Islam sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan keberagamaan agamanya. Dengan mengutip pendapat Brian Morris, Jamhari berpendapat bahwa kajian agama secara Antropologis dapat dikategorikan dalam empat teori; intellectual, functionalist, structuralist, dan sybolist. Keempat teori ini berupaya mengkaji agama dalam kerangka sosial empiris bahwa agama dipandang sebagai bagian kehidupan manusia secara realitas dapat dilihat dan diteliti. Karena realitas keberagamaan manusia beragam, sebagaimana tercermin dalam aneka macam budaya, diperlukan kajian antropologi lintas budaya (cross culture) untuk melihat realitas universal agama.
Bagaimanakah Islam dikaji secara realitas budaya.? Ada tiga model yang dapat dikembangkan dalam rangka studi Islam secara cross culture. Pertama, model kajian pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah sekian lama berproses. Model ini telah dilakukan oleh Anthoni Reid dan Kuntowijoyo yang telah menjadikan Islam sebagai agama rakyat (popular religion). Kedua, model kajian tentang corak suku etnis dan bahasa masyarakat muslim. Ketiga, model kajian Islam lintas wilayah dan budaya.
Berangkat dari asumsi tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan Antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembanga dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu Antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme (metode pendekatan/ pengamatan terhadap masalah dengan menelaah masalah itu juga), yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para Antropolog harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan, dan politik, magic, serta pengobatan “secara bersama-sama”. Maka, agama misalnya, tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktis sosial lainnya.
Melalui pendekatan Antropologis sebagaimana disebut di atas, kita dapat melihat hubungan agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java dapat dijadikan contoh yang baik dalam bidang ini. Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara santri, priyayi, dan abangan. Meskipun penelitian Antropologis di Jawa Timur ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuan sosial yang lain. konstruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berpikir ulang untuk mengecek keabsahannya.
Disamping itu, kita melihat bahwa agama ternyata berkolerasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keberagamaan yang bersifat messianic, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Sehingga dalam teori konflik dalam disiplin ilmu sosial/ sosiologi, agama disalahfungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo dan stratifikasi sosialnya.
Pendekatan Antropologis juga dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi. Sigmund Freud pernah mengaitkan agama dengan “Oedipus Compleks”, yakni pengalaman infantile (bersifat kenakak-kanakan) seorang anak yang tidak berdaya dihadapan kekuatan dan kekuasaan bapaknya. Agama dinilai sebagai Neurosis (berhubungan dengan kejiwaan). Dalam psikoanalisisnya, dia mengungkapkan hubungan antara Id, Ego, dan Superego. Meskipun hasil penelitian Freud berakhir dengan kurang simpati terhadap realita keberagamaan manusia, temuannya cukup memberikan peringatan terhadap kasus keberagamaan tertentu yang lebih terkait dengan patologi (penyelidikan terhadap suatu penyakit) maupun kejiwaan. Freud oleh beberapa kalangan dilihat terlalu minor melihat fenomena keberagamaan manusia. Menurutnya ada kolerasi positif antara agama dan kesehatan mental.
Antropologi memberikan pemahaman yang khusus berkenaan dengna cara hidup dan perilaku manusia – lingkup Antropologi mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Pernyataan Socrates yang berbunyi, “Saya bukanlah orang Athena atau Yunani, melainkan warga Dunia,” dewasa ini cenderung diartikan secara harfiah daripada filosofis. Manusia seluruh dunia sudah mampu berhubungan antara satu sama lainnya melalui bantuan teknologi canggih. Dalam dunia kita yang kompleks ini, Antropologi dapat membantu kita dengan cara yang sederhana, tetapi bermanfaat untuk memahami berbagai masalah masa kini.
C.  Manusia Dalam Perspektif Islam
1.    Hakikat dan Martabat Manusia
Manusi adalah makhluk ciptaan Allah yang misterius dan sangat menarik. Dikatakan misterius karena semakin dikaji semakin terungkap betapa banyak hal-hal mengenai manusia yang belum terungkapkan. Dan dikatakan menarik karena manusia sebagai subyek sekaligus sebagai obyek kajian yang tiada henti-hentinya yang terus dilakukan manusia khususnya para ilmuan. Oleh karena itu ia telah menjadi sasaran studi sejak dahulu, kini dan kemudian hari. Hampir semua lembaga pendidikan tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya.
Para ahli telah mengkaji manusia menurut bidang studinya masing-masing, tetapi sekang para ahli belum mencapai kata sepakat tentang manusia. Ini terbukti dari banyaknya penamaan manusia, misalnya homo sapien (manusia berakal), homo ecominicus (manusia ekonomi), yang kadangkala disebut economic animal (binatang ekonomi), al-insanu hayawanun nathiq (manusia adalah hewan yang berkata-kata), homo socius (makhluk sosial), homo devians (makhluk beragama), homo educandum (makhluk pendidikan), zoon politicon (makhluk politik/ beramasyarakat), dan sebagainya.
Al-Qur’an tidak menggolongkan manusia kedalam kelompok binatang (animal) selama manusia mempergunakan akalnya dan karunia Tuhan lainnya. Namun jika manusia tidak mempergunakan akal dan berbagai potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi nilainya yakni pemikiran (rasio), kalbu, jiwa, raga, serta panca indera secara baik dan benar, ia akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi hewan seperti yang dinyatakan Allah dalam al-Qur’an.
Artinya: “....mereka (jin dan manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), punya telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka (manusia) yang seperti itu sama (martabatnya) dengan hewan bahkan lebih rendah (lagi) dari binatang.” (QS. Al-A’raf: 179)
Dalam al-Qur’an manusia disebut antara lain dengan Bani Adam (QS. Al-Isra’: 70), Basyar (QS. Al-Kahfi: 10), Insan (QS. Al-Insan: 1), an-Nas (QS. An-Nas: 1). Berbagai rumusan tentang manusia telah pula diberikan orang. Salah satu diantaranya, berdasarkan studi isi al-Qur’an dan Hadits berbunyi telah disunting sebagai berikut; al-Insan (manusia) adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki potensi untuk beriman (kepada Allah), dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggungjawab atas segala perbuatannya dan berakhlak.
2.    Kelebihan Manusia Dari Makhluk Lainnya, Fungsi dan Tanggungjawab Manusia Dalam Islam
Betolak dari rumusan singkat tersebut, menurut ajaran Islam manusia dibandingkan dengan makhluk lain memiliki berbagai ciri utamanya, adalah;
a.    Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang paling baik, ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Firman Allah;
Artinya: “Sesungguhnya telah kami menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS. At-Tin: 4)
Karena itu pula keunikannya (kelainannya dari makhluk Tuhan ciptaan lain) dapat dilihat dari struktur tubuhnya, gejala-gejala yang ditimbulkan jiwanya, mekanisme yang terjadi pada setiap organ tubuhnya, proses pertumbuhannya melalui tahap-tahap tertentu.
Hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya, ketergantungannya pada sesuatu, menunjukan adanya kekuasaan yang berada diluar manusia itu sendiri. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah karena itu seyogyanya menyadari kelemahannya. Kelemahan manusia berupa sifat yang melekat pada dirinya disebutkan Allah dalam al-Qur’an diantaranya adalah;
1). Melampui batas (QS. Yunus: 12)
2). Zalim (bengis, kejam, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, aniaya) dan mengingkari karunia (pemberian) Allah. (QS. Ibrahim: 34)
3). Tergesa-gesa (QS. Al-Isra: 11)
4). Suka membantah (QS. Al-Kahfi: 54)
5). Berkeluh kesah dan kikir (QS. Al-Ma’arij: 19-21)
6. Ingkar dan tidak berterima kasih (QS. Al-adiyat: 6)
Namun untuk kepentingan dirinya, manusia harus senantiasa berhubungan dengan penciptanya, dengan sesama manusia, dengan dirinya sendiri, dan dengan alam sekitarnya
b.    Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada Allah. Sebab sebelum ruh (ciptaan) Allah dipertemukan dengan jasad dirahim ibunya, ruh yang berada di alam ghaib itu ditanyai Allah, sebagaimana tertera dalam al-Qur’an;
Artinya: “Apakah kalian mengakui Aku sebagai Tuhan kalian? (para ruh itu menjawab); Ya kami akui (kami saksikan) engkau adalah Tuhan kami.” (QS. Al-Araf: 172).
Dengan pengakuan itu sesungguhnya sejak awal dari tempat asalnya manusia telah mengakui Tuhan, telah ber-Tuhan, ber-Ketuhanan. Pengakuan dan penyaksian bahwa Allah adalah Tuhan ruh yang ditiupkan kedalam rahim wanita yang sedang mengandung manusia itu berarti bahwa manusia mengakui (pula) kekuasaan Tuhan. Termasuk kekuasaan Tuhan menciptakan agama untuk pedoman hidup manusia di dunia ini. Ini bermakna pula bahwa secara potensial manusia percaya atau beriman kepada ajaran agama yang diciptakan Allah yang maha kuasa.
c.    Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya dalam al-Qur’an surat Az-Zariyat;
Artinya: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)
Mengabdi kepada Allah dapat dilakukan manusia melalui dua jalur, jalus khusus dan jalur umum. Pengabdian melalui jalur khusus dilaksanakan dengan melakukan ibadah khusus yaitu segala upacara pengabdian langsung kepada Allah, dan syarat-syaratnya, cara-caranya (mungkin waktu dan tempatnya) telah ditentukan oleh Allah sendiri, sedang rinciannya dijelaskan oleh Rasul-Nya, seperti ibadah Shalat, Zakat, Saum, dan Haji. Pengabdian melalui jalur umum, dapat diwujudkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang disebut amal saleh yaitu segala perbuatan positif yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat, dilandasi dengan niat ikhlas dan bertujuan untuk mencari keridhaan Allah.
d.   Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi Khalifah-Nya di bumi. Hal itu dinyatakan Allah dalam firman-Nya. Di dalam suarat al-Baqarah 30, dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi Khalifah-Nya di bumi. Perkataan menjadi “Khalifah” dalam ayat tersebut mengandung makna bahwa Allah menjadikan manusia wakil dan pemegang kekuasaan-Nya mengurus dunia dengan jalan melaksanakan segala yang diridhai-Nya di muka bumi ini.
Dalam mengurus dunia, sesungguhnya manusia diuji, apakah ia akan melaksanakan tugasnya dengan baik atau sebaliknya, dengan buruk. Mengurus dengan baik adalah mengurus kehidupan dunia ini sesuai dengan kehendak Allah, sesuai dengan pola yang telah ditentukannya agar memanfaatkan alam semesta dan segala isinya dapat dinikmati oleh manusia dan makhluk lainnya. Jika sebaliknya, pengurusan itu tidak baik, artinya tidak sesuai dengan pola yang telah ditetapkan Allah. Malapetaka, sebagai akibat salah urus akan dirasakan oleh manusia, juga oleh lingkungan hidupnya. Untuk dapat melaksanakan tugasnya menjadi kuasa atau Khalifah Allah, manusia diberi akal pikiran dan kalbu, yang tidak diberikan kepada makhluk lain. dengan akal pikirannya manusia mampu mengamati alam semesta, menghasilkan dan mengembangkan ilmu yang benihnya telah “disemaikan” Allah sewaktu mengajarkan nama-nama (benda) kepada manusia asal, waktu Allah menjadikan manusia (Adam) menjadi Khalifah-Nya di bumi ini dahulu (QS. Al-Baqarah: 31)
Dengan akal dan pikirannya yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia diharapkan mampu mengemban amanah sebagai Khalifah Allah. Dengan mengabdi kepada Allah dan mengemban amanah sebagai Khalifah-Nya di bumi, manusia diharapkan akan dapat mencapai tujuan hidupnya memperoleh keridhaan Ilahi di dunia ini, sebagai bekal mendapatkan keridhaan Allah di akhirat nanti. Manusia yang mempunyai kedudukan sebagai Khalifah di bumi itu bertugas memakmurkan bumi dan segala isinya. Memakmurkan bumi artinya mensejahterakan kehidupan di dunia ini. Untuk itu manusia wajib bekerja beramal saleh (berbuat baik yang bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya) serta menjaga keseimbangan dan bumi yang didiaminya, sesuai dengan tuntunan yang diberikan Allah melalui agama.
e.    Disamping akal, manusia dilengkapi Allah dengan perasaan dan kemauan atau kehendak. Dengan akal dan kehendaknya manusia akan tunduk dan patuh kepada Allah, menjadi muslim. Tetapi dengan akal dan kehendaknya juga manusia dapat tidak dipercaya, tidak tunduk dan tidak patuh kepada kehendak Allah, bahkan mengingkari-Nya, menjadi kafir. Karena itu didalam al-Qur’an ditegaskan oleh Allah;
Artinya: “Dan katakan bahwa kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Barangsiapa yang mau beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang tidak ingin beriman, biarlah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi: 29)
Allah telah menunjukan kepada manusia dan manusia dapat mengikuti jalan itu dan dapat pula tidak mengikutinya. Memang dengan kemauan dan kehendaknya yang bebas, manusia dapat memilih jalan yang akan ditempuhnya. Namun dengan pilihan itu, manusia kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, yaitu pada hari perhitungan mengenai segala amal perbuatan manusia ketika masih di dunia.
f.     Secara individual manusia bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an;
Artinya: “Setiap orang terikat (bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya).” (QS. At-Thur: 21)

g.    Berakhlak adalah ciri utama manusia dibandingkan dengan makhluk lain. artinya manusia adalah makhluk yang diberikan Allah kemampuan untuk membedakan yang baik dengan yang buruk. Dalam Islam kedudukan akhlak sangat penting, ia menjadi komponen ketiga dalam Islam. Kedudukan ini dapat dilihat dalam Sunnah Nabi yang mengatakan bahwa beliau diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak manusia yang mulia.

Penulis : Unknown ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Antropoogi Dalam Studi Islam (S1PSI) ini dipublish oleh Unknown pada hari Minggu, 24 Juli 2016. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Antropoogi Dalam Studi Islam (S1PSI)
 

0 komentar:

Posting Komentar