TINGKATAN HADITS (S1PSI)

TINGKATAN HADITS
Judul Buku    : مُصـطَلِـحَ الحَـدِيـثِ
Penulis Buku : Mahmud Aziz & Mahmud Yunus
Penerbit          : PT. Jayamurni Jakarta
Cetakan          : Cet. VIII Juli 1975

            Para ulama hadits membagi hadits-hadits itu atas 57 bagian atau 57 tingkatan. Pembagian itu ditinjau dari beberapa segi, diantaranya segi matan hadits, rawi, dan sanad
Umpamanya:
1.      A Meriwayatkan hadits dari B, dan hadits itu berlawanan dengan hadits C
2.      A Meriwayatkan satu hadits dari B, B dari C, padahal dalam sejarah diketahui bahwa A dengan B tidak bertemu, karena tidak hidup dalam satu masa
3.      A meriwayatkan hadits dari B, B dari C dan B cukup syarat-syaratnya karena kedua-duanya itu orang baik, akan tetapi C orang pendusta, khianat dan sebagainya
4.      Ada pula hadits yang sah menurut sanad dan rawinya, akan tetapi berlawanan maksud dan tujuannya dengan ayat al-Qur’an atau hadits Mutawattir.
Oleh karena itulah ulama hadits membagi-bagi hadits itu atas 57 bagian, yaitu:
1.    Mutawatir
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan disampaikan kepada orang banyak pula lalu kepada orang banyak lagi, hingga sampai kepada imam-imam hadits. Maka, hadits Mutawatir adalah hadits yang mempunyai banyak sanad dan mustahil rawi-rawi hadits itu sepakat mengadakan dusta atas Nabi. Mutawatir terbagi menjadi dua;
a.    Mutawatir Lafzi
Lafaz atau perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak, dari orang banyak dan kepada orang banyak, hingga sampai kepada rawi-rawi hadits.
b.    Mutawatir Amali
Perbuatan Nabi yang dilihat oleh orang banyak diantara sahabat Nabi. Umpamanya, Nabi mengerjakan Shalat dengan membaca Fatihah, Ruku’, Sujud, duduk diantara dua Sujud, membaca tasyahhud dan sebagainya. Perbuatan Nabi dilihat oleh beratus-ratus sahabat, lalu mereka kabarka kepada beratus-ratus Tabi’in, hingga sampai kepada ahli hadits.
2.    Masyhur
Yaitu hadits yang diriwayatkan dari tiga sanad yang bertalian. Umpamanya;
مَن تَعَلمَ عِلمًا مِمَّا يَبتَغِى بِهِ وَجهَ اللهِ تَعَالَى لَا يَتَعَلَّمُهُ اِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنيَا لَم يَجِد عَرفَ الجَنَّةِ
Hadits tersebut diriwayatkan oleh 1) Abu Daud, 2) Ibnu Hibban dan 3) Hakim dari Abu Hurairah. Ketiga-tiganya berlainan sanadnya.
3.    Sahih
Yaitu hadits yang cukup pertaliannya (sanadnya) dari permulaan hingga akhirnya. Hadits itu diriwayatkan oleh orang-orang sempurna hafalannya. Syarat-syarat hadits Sahih; a). Sanadnya harus bersambung, b). Rawi-rawi yang ada dalam sanad itu harus adil, c). Rawi-rawi itu hendaklah muslim, d). Baligh, e). Berakal, f). Tidak mengerjakan dosa, g). Sempurna hafalannya, h). Hadits yang diriwayatkannya tidak berlawnan dengan hadits Mutawatir atau dengan ayat al-Qur’an
Hadits Sahih terbagi menjadi dua; a). Sahih Lizatihi – yaitu hadits yang sahih dengan sendirinya sendiri, yakni sahihnya itu tidak dibantu oleh keterangan yang lain, b). Sahih Ligairihi – yaitu hadits yang sahihnya karena dibantu oleh keterangan yang lain. artinya bila dilihat dari sanadnya semata-mata, hadits itu adalah hadits hasan, akan tetapi karena dibantu oleh keterangan lain maka jadilah i Sahih Ligairihi
4.    Hasan
Yaitu hadits yang sama dengan hadits Sahih, bedanya hanya mengenai hafalan. Rawi hadits Hasan kurang dari hadits Sahih, yaitu kurang hapal atau pelupa. Hadits Hasan terbagi menjadi dua; a). Hasan Lizatihi – hadits yang dengan sendirinya diakatakan Hasan artinya dengan tidak dibantu oleh keterangan lain. sebagaimana diterangkan, Hasan Lizatihi ada yang sampai kederajat Sahih Ligairihi, b). – hadits yang hasannya itu karena dibantu oleh keterangan lain.
5.    Salih
Yaitu hadits yang kurang dari hadits Hasan, akan tetapi tidak terlalu lemah.
6.    Mudha’af
Hadits yang lemah matan atau sanadnya. Setengah sanadnya menguatkan bagi yang setengah.
7.    Dha’if
Hadits yang tidak bersambung sanadnya atau dalam sanadnya itu ada orang yang bercacat. Yang dimaksud dengan yang bercacat adlah rawi yang bukan Islam, belum baligh, berubah akalnya, tidak dikenal orang, tidak diketahui orangnya atau sifatnya, buruk dalam hafalannya, bisa lupa, suka menyamarkan nama rawi, dituduh dusata, jelek dalam meriwayatkan, biasa lalai, pasik tetapi tidak sampai batas kufur, riwayatnya menyalahi riwayat yang masyhur, suka mengerjakan dosa.
8.    Musnad
Hadits yang bersambung sanadnya sampai kepada Nabi Saw atau kepada sahabat. Perbedaan hadits Sahih dengan Musnad adalah bahwa hadits Musnad itu adalah hadits yang bersambung hingga sahabat atau sampai kepada Nabi Saw, akan tetapi rawinya adalah orang yang tidak adil, atau orang pasik, orang pelupa, atau orang penghapal, sampai sanadnya kepada Nabi Saw atau hingga sahabat saja, baligh ataupun anak kecil, Islam ataupun tidak. Ringkasnya Hadits Musnad itu adakalanya masuk kepada hadits Sahih, adakalanya termasuk kepada hadits yang dha’if dan adakalanya termasuk kepada hadits Marfu’
9.    Marfu’
Adalah hadits yang sampai sanadnya kepada Nabi. Baik perkataan, perbuatan ataupun takrir; sanadnya berhubungan atau tidak. Adapun hadits Marfu’ itu belum dapat kita katakan sahih, hasan, dha’if dan belum pula boleh dikatakan sabda Nabi atau perkataan sahabat. Dengan menyelidiki dalam kitab-kitab hadits, dapatlah kita katakan hadits Marfu’ itu sahih, hasan, atau dha’if, begitu pula hadits itu sabda Nabi atau perkataan sahabat.
10.    Mauquf
Yaitu perkataan, perbuatan atau takrir sahabat. Adapun kata-kata yang diragui mauquf atau marfu’; a). “menurut sunnah, sembahyang malam itu Cuma delapan rakaat”. Anas berkata; “apabila seseorang kawin dengan perawan hendaklah tetap padanya tujuh hari (malam)”, kata-kata sunnah itu menunjukan kepada sunnah Nabi, artinya “takrir”nya. Akan tetapi Imam Syafi’i berkata; yang demikian itu belum tegas kepada sunnah Nabi, karena boleh jadi sunnah sahabat”. Imam Salim berkata: “apabila yang dikatakan sunnah, maka yang dimaksud adalah sunnah Nabi”. b). apabila sahabat berkata: “kami diperintah, kami dilarang, kami mengerjakan pekerjaan itu dimasa Nabi”, kata-kata yang seperti itu menunjukan kepada orang yang memerintah, melarang atau yang melihatkan saja sesuatu pekerjaan dilakukan dihadapannya (jadi takrir), dan orang itu adalah Nabi sendiri. Semuanya itu masuh marfu’. c). Sahabat yang menafsirkan sabda Nabi atau firman Allah, termasuklah kepada mauquf. Mauquf itu tidaklah boleh dijadikan dalil dalam agama.
11.    Mausul
Yaitu hadits yang berhubungan sanadnya kepada Nabi atau kepada sahabat. Tiap-tiap rawi berkata: “aku dengan si A berkata”. Dan A berkata pula: “aku dengar si B”, dan begitulah seterusnya hingga sampai kepada Nabi atau sahabat.
12.    Mursal
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Tabi’i dari Nabi Saw. Tabi’i yaitu orang yang tidak bertemu dengan Nabi, hanya ia bertemu dengan sahabat Nabi. Tabi’i yang berkata: “aku dengar Nabi berkata atau aku lihat Nabi mengerjakan, atau aku tahu Nabi menetapkan (takrir)”. Hal yang demikian tidaklah terjadi, karena Tabi’i tidak bertemu Nabi, melainkan mesti ada perantara antara Tabi’i dengan Nabi. Perantara itu ialah Sahabat yang tidak dinyatakan oleh Tabi’i.
Hadits mursal tidak boleh dijadikan dalil dalam agama. Para ulama berkata: “barangsiapa yang masih kecil waktu Nabi hidup, seperti Muhammad bin Abu Bakar, maka haditnya dinamakan Mursal. Adapun orang yang kafir diwaktu Nabi masih hidup dan ia mendengar Nabi bersabda, dan sesudah Nabi meninggal dunia ia masuk Islam lalu ia meriwayatkan apa yang didengarnya waktu ia kafir itu, maka haditsnya dapat diterima, seperti hadits yang diriwayaktan oleh At-Tanukhi. Adapula sahabat yang meriwayatkan hadits dari Nabi, padahal ada keterangan, bahwa sabahat itu tidak mungkin mendengar atau mengetahui apa yang diriwayatkan itu, maka haditsnya itu disebut Hadits Mursal Sahabat, dan boleh dijadikan dalil dalam agama. Pengarang kitab Tadrib, pada halaman 71 menyatakan, bahwa dalam Hadits Bukhari ada terdapat Hadits Mursal Sahabat itu.
Mursal sahabt adalah meriwayatkan hadits dari nabi, tapi sesuadh diperiksa dengan teliti diketahui bahwa hadits itu tidak mungkin diriwayatkan dari Nabi, disebabkan umurnya masih kecil diwaktu ia mendengarnya atau dia masih kafir, atau ia tidak melihat atau mendengar Nabi bersabda. Misalnya dalam hadits disebutkan seolah-olah Ibnu Abbas melihat atau turut berjalan beserta Nabi ke Mekah waktu melakukannya, padahal Ibnu Abbas waktu itu masih kecil dan tidak turut beserta Nabi. darimanakah Ibnu Abbas mendapatkan kabar itu? Tentulah dari sahabat yang turut bersama Nabi ke Mekah, dan Sahabat itulah mengabarkan kepada Ibnu Abbas. Tetapi Ibnu Abbas tidak menyebutkan nama sabahabt itu. Mursal Sahabat boleh dijadikan dalil.
13.    Maqthu’
Yaitu perkataan, perbuatan atau ketetapan (takrir) Tabi’i. Hadits Maqthu’ tidak boleh dijadikan dali dalam agama. Umpamanya
Haji yang sempurna ialah haji dengan mengendarai unta”. Adalah perkataan A’masy salah seorang Tabi’i
14.    Munqathi’
Yaitu hadits yang tidak disebutkan seorang rawinya sebelum sahabat. Umpamanya; Imam Malik meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, padahal antara Imam Malik dengan Ibnu Umar ada seorang yang tidak disebutkan.
15.    Mu’addhal
Yaitu hadits yang tidak disebutkan dua atau tiga orang rawinya sebelum sahabat. Umpamanya:
“laki-laki akan ditanyai pada hari kiamat, apakah engkau telah mengerjakan itu dan itu......? maka jawab laki-laki itu: aku tidak ada mengerjakan”
Menurut riwayat A’masy, hadits tersebut adalah hadits Mu’addhal karena ada dua orang sebelum sahabat yang tidak disebutkan dalam riwayatnya. Akan tetapi menurut riwayat dari Aiyub dari Anas dan Anas dari Nabi.
Anas berkata: aku sedang duduk dekat Nabi, lalu beliau bersabada: laki-laki akan ditanyai pada hari kiamat, apakah engkau telah.....”. jadi suatu hadits ada yang mua’ddhal menurut riwayat A, dan Mausul menurut riwayat B dan ada pula suatu hadits yang mauquf menurut riwayat C, marfu’ menurut riwayat D.
Para ulama hadits berkata: “hadits semacam itu diamalkanlah mana yang ada tambahannya”. Jadi hadits A’masy yang Muaddhal ditinggalkan, dan hadits Fudhail yang Mausul diamalkan karena dalam riwayat ada tambahan.
16.    Mu’an’an
Yaitu yang diriwayatkan dengan kata-kata “an” (dari) si A dan tidak disebutkan kata-mata Haddatsana (mengabarkan kepada kami) dan sebagainya. Sedangkan antara yang meriwayatkan dengan orang yang menerima hadits itu ada bertemu dalam satu masa.
17.    Muannnan
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan mempergunakan kata Anna (sesungguhnya)
18.    Mu’allaq
Yaitu hadits yang tidak disebutkan dari permulaan sanadnya seorang atau lebih.
19.    Mudallas (Tadlis)
Tadlis artinya menipu, menggelapkan dan artinya dalam Mushalah Hadits, ialah meriwayatkan hadits denga tidak menyebutkan nama orang yang meriwayatkannya dan menukar namanya dengan orang lain.
20.    Mudraj
Yaitu perkataan yang disebutkan sekali dengan hadits dan disangka oleh pendengar bahwa perkataan itu termasuk hadits juga. Mudraj terbagi menjadi dua; a). Mudraj matan dan b). Mudraj Sanad.
21.    ‘Ali
‘Ali artinya tinggi, menurut istilah dalam ilmu Musthalah Hadits ialah yang sedikit silsilah sanadnya sampai pada Nabi, kalau dibandingkan dengan silsilah sanad yang lain.
22.    Nazil
Yaitu yang banyak silsilah sanadnya (salurannya). Setengah ulama mengatakan silsilah sanadnya sampai 9, 10, atau 11 orang banyaknya. Adapun hadits ‘Ali dan Nazil itu belumlah boleh dikatakan sah, atau lemah, maudhu dan sebagainya, karena hadits yang sah itu bukanlah karena banyak atau sedikit silsilah sanadnya, melainkan karena cukup syarat-syaratnya.
23.    Musalsal
Yaitu hadits yang dinyatakan sanadnya (orang-orang yang meriwayatkan) dengan satu sifat dan keadaan atau hadits itu diriwayatkan dengan kata-kata akhbarana (mengabarkan kepada kami) dan sebagainya. Umpamanya diantara salah satu sifatnya, haruslah ia seorang hafiz, faqih, ahli Nahwu dan sebagainya, atau dengan menyebutkan negerinya seperti orang Mesir, Mekah, Kufah, dan lain-lain, atau dengan memakai kata-kata anba-ana (mengabarkan kepada kami) dan sebagainya.
24.    Gharib
Seorang rawi menambah matan atau sanad suatu hadits yang diriwayatkan oleh orang lain, maka haditnya itu dinamai Hadits Gharib. Gharib itu ada pada matan hadits, ada pula yang sanadnya dan ada lagi pada sanad dan matan kedua-duanya. Gharib terbagi menjadi: a). Gharib Sahih, b). Gharib Dha’if, c). Gharib Hasan.
25.    Aziz
Ialah hadits yang diriwayatkan dengan perantaraan dua sanad yang berlainan.
26.    Mu’allal
Yaitu hadits yang menurut lahirnya baik, akan tetapi sesudah diperiksa dengan teliti, diketahuilah bahwa hadits itu ada celaan dan cacatnya. Hadits Muallal itu ada yang lemah, dan ada pula yang Maudhu. Dalam ilmu yang berhubungan dengan Musthalah Hadits, hadits Mu’allal inilah yang paling susah mengetahuinya. Mu’allal terdapat pada sanad dan matan.
27.    Fard
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang saja dan orang lain tidak ada yang meriwayatkan hadits itu. Umpamanya, hadits yang diriwayatkan oleh Israil, dari Yusuf bin Abu Bardah, dari Bapanya, dari Aisyah, Aisyah berkata; “Apabila Nabi keluar dari kakus, ia mengucapkan; “ghufranak” (mudah-mudahan Engkau mengampuniku ya Allah”.
28.    Syaz
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang, tetapi ada perobahan (tambahan atau kurang) dari yang diriwayatkan oleh orang lain yang lebih dipercayai dari padanya, atau berlainan dengan hadits yang diriwayatkan


29.    Munkar/ Matruk
Si A meriwayatkan suatu hadits. Selain dari padanya tidak ada yang meriwayatkan seperti itu. Sedangkan si A itu orang yang pasik atau pelupa atau banyak waham atau sering-sering dusta. Maka hadits yang diriwayatkannya itu dinamakan Matruk. Kalau si A itu meriwayatkan suatu hadits, hadits itu berlainan dengan yang diriwayatkan oleh orang lain (C), dan C ini tidak adil, dhabth (tepat menangkap apa yg didengarnya, dan dihafalkannya dg baik) dan dipercayai maka hadits A, dinamai hadits Munkar dan yang diriwayatkan oleh C dinamai hadits Ma’ruf.
30.    Mudhtharib
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan matan yang berlainan dan bertentangan, atau dengan sanad yang berlainan dan bertentangan. Jika salah satu riwayat itu kuat, karena rawinya tidak pelupa, atau rawinya sangat teliti dan adil maka yang kuat sanadnya itu dinamai sahih, dan yang lemai itu dinamai syaz. Jika sanad atau matan itu tidak dapat dikumpulkan atau dikuatkan, maka hadits itu dinamai Mudhtharib. Mudhtharib itu ada yang pada matan dan ada pula yang pada sanad.
31.    Maudhu’
Yaitu perkataan seseorang yang dikatakan perkataan Nabi Saw meriwayatkan hadits Maudhu’ itu haram hukumnya, kecuali untuk menerangkan pelajaran. Sebab-sebab adanya hadits maudhu’ adalah sebagai berikut; sebab orang mengada-adakan hadits palsu terlalu banyak, a) perbuatan kaum zindik (pada lahirnya mereka muslim sedangkan hatinya hendak merusak Islam), b). karena mencari pengaruh, pangkat, kemuliaan dan biasanya diada-adakan oleh ahli bid’ah dan ahli pidato yang mencari pengaruh pada pendengarnya untu suatu tujuan atau maksud satu golongan.
32.    Maqlub
Yaitu hadits yang bertukar nama rawinya atau terbalik letak dan kata-katanya. Maqlub itu adakalanya pada matan atau pada sanad hadits
33.    Murakkab
Yaitu hadits yang disusun sanadnya dari mata hadits yang lain, atau disusun matannya dari sanad matan hadits yang lain. umpamanya ketika Imam Bukhari datang ke Bagdad, beliau diuji oleh ulama Bagdad, betulkah Imam Bukhari ahli hadits dan mahir dalam ilmu hadits. Ulama Bagdad mengadakan kerapatan dan dipanggil Imam Bukhari untuk menghadirinya. Setelah Imam Bukhari hadir, serta para ulama, maka mereka mengemukakan beberapa hadits yang diputar balikan sanad dan matannya. Ulama Bagdad menukar matan hadits dengan sanad yang lain dan mnukar sanad hadits dengan matan yang lain pula. Kemudian Imam Bukhari menerangkan kesalahan yang mereka putar balikan itu dengan keterangan yang memuaskan, lalu ulama Bagdad mengakui kelebihan dan keahlian Imam Bukhari dalam ilmu hadits.
34.    Munqalib
Yaitu hadits yang diputar-balikan susunan kalimatya oleh orang yang meriwayatkannya.
35.    Mushahhaf/ Muharraf
Mushahhaf atau Muharraf juga dinamakan Tahrif yaitu mengubah satu titik atau beberapa titik huruf atau mengubah baris (harakah) atau tanda-tanda mati (sakanat) atau mengubah tanda-tanda yang lain. Mushahhaf (tahrif) ada yang pada sanad dan ada pula yang pada matan.
36.    Nasikh/ Mansukh
Nasikh artinya yang mengubah, dan Mansukh artinya diubah. Nasikh menurut istilah ialah mengubah hukum yang telah ada dengan hukum yang diadakan kemudian. Nasikh dan Mansukh dapat diketahui; 1). Dengan memperhatikan sejarah yang berlaku dalam suatu hukum, 2). Dengan mengetahui bahwa hadits yang satu terkemudian dari hadits yang lain.
37.    Mukhtalaf
Yaitu dua buah hadits yang berlawanan satu sama lain. jika dua buah hadits pada lahirnya berlawanan atau bertentangan maksud dan tujuannya, maka hendaklah kita kumpulkan kedua hadits itu atau kita tarjihkan (kuatkan) salah satu dari pada keduanya.
38.    Muttafaq/ Muftaraq
Muttafaq dan Muftaraq yaitu hadits yang serupa nama rawi-rawinya, baik bangsa, orang dan gelarnya, ataupun lafaz dan tulisannya, akan tetapi orangnya berlainan. Muttafaq dan Muftaraq itu banyak macamnya; a). Serupa namanya dan serupa pula bapanya, seperti Khalil Bin Ahmad (ada enam orang yang bernama demikian), b). serupa namanya, serupa nama bapanya dan serupa nama neneknya, seperti Ahmad Bin Ja’far Bin Hamdan (ada empat yang bernama demikian), c). Serupa gelar dan negerinya, seperti Abu Imran al-Juni (ada dua orang yang bergelar demikian, d). dll
39.    Mubham
Yaitu hadits yang tidak terang pda matannya atau sanadnya, adanya seorang; baik laki-laki ataupun perempuan yang tidak ditegaskan namanya.
40.    Majhul
Yaitu hadits yang dalam sanadnya ada seorang rawi yang tidak dikenal orangnya atau hal keadaannya oleh ahli hadits. Rawi yang tidak dikenal orangnya dinamai Majhul ‘Ain. Rawi yang dikenal orangnya, akan tetapi tidak dikenal hal keadaannya, adakah ia seorang yang dapat dipercayai atau tidak, kuat hafalannya atau tidak, adil atau tidak, dinamai Majhul Hal.
41.    Hadits Qudsi
Yaitu hadits yang dikabarkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw dengan ilham atau mimpi. Lalu Nabi mengabarkan ilham atau mimpi itu dengan perkataannya sendiri sesuai dengan arti dan maksud yang datang dari Allah itu. Jadi arti atau maksud Hadits Qudsi itu dari Allah, tetapi susunan kalimatnya dari Nabi sendiri. Perbedaan Hadits Qudsi dengan al-Qur’an adalah al-Qur’an diturunkan dengan lafaz (ibarat) dan artinya dari Allah dengan perantaraan Jibril sedangkan Hadits Qudsi arti atau maksudnya saja yang diturunkan, sedang lafaz dan susunan perkataannya dari Nabi sendiri.
42.    Hadits Qawi
Yaitu hadits yang diucapkan oleh Nabi dan sesudah diucapkannya lalu disambungnya dengan ayat al-Qur’an untuk menguatkannya.
43.    Muttasil
Yaitu hadits yang berhubungan sanadnya, tiap-tiap orang yang meriwayatkan mendengar langsung dari orang yang meriwayatkan kepadanya hingga sampai kepada Nabi Saw atau sampai kepada sahabat saja. Hadits Muttasil ada yang Sahih kalau cukup syarat-syaratnya, ada yang Dha’if, dan ada pula yang Hasan.
44.    Muhkam
Yaitu hadits yang artinya menurut lahirnya sebagai artinya yang hakiki. Dengan kata lain, arti kata-katanya adalah menurut yang hakiki, bukan arti kiasan.
45.    Mutasyabih
Yaitu hadits yang arti kata-katanya tidak menurut arti yang hakiki, melainkan menurut arti kiasan (majaz/ isti’arah).
46.    ‘Am
Yaitu hadits yang ditujukan kepada sekalian manusia, misalnya; “hai sekalian manusia! Takutlah terhadap syirik, karena syirik itu lebih tersembunyi dari semut yang paling kecil” (HR. Ahmad Bin Hanbal dari Tabarani dari Ubaiya)
47.    Ahad
Yaitu hadits yang mempunyai satu sanad, atau dua sanad yang berlainan. Dan termasuk hadits Ahad itu; a). Hadits Gharib, b). Hadits Aziz, c). Hadits Masyhur. Kemudian lawan dari hadits Ahad adalah hadits Mutawatir.
48.    Muftara
Yaitu perkataan yang disusun oleh seseorang yang mendakwakan dirinya Nabi, seperti perkataan Musailamah al Kazzab, dan perkataan Mirza Ghulam Ahmad yang mengatakan bahwa ia Nabi dan Mahdi yang akan datang diakhir zaman. Hukumnya tidak harus (tidak boleh) beramal dengan hadits ini.
49.    Saqim
Yaitu hadits yang arti dan tujuannya berlawanan dengan ayat al-Qur’an.
50.    Jaiyid
Yaitu hadits yang dikatakan baik dan sahih oleh ahli hadits.
51.    Ma’ruf
Yaitu hadits yang tidak diingkari oleh ahli hadits, artinya tiap-tiap rawinya dipandang baik oleh ahli hadits.
52.    Mahfuz
Yaitu hadits yang sekalian ahli hadits sepakat mengatakan, bahwa rawi dan sanadnya tidak tercela dan tidak cacat; jadi terpelihara dari kecelaan.
53.    Mujawwad/ Tsabit

Mujawwad dan Tsabit yaitu hadits yang meliputi hadits Sahih dan hadits Hasan. Artinya hadits Sahih dan hadits Hasan dinamai juga hadits Mujawwad dan Tsabit

Penulis : Unknown ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel TINGKATAN HADITS (S1PSI) ini dipublish oleh Unknown pada hari Minggu, 24 Juli 2016. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan TINGKATAN HADITS (S1PSI)
 

0 komentar:

Posting Komentar