BAB II
PEMBAHASAN
(KORUPSI, KOLUSI, NEPOTISME)
A.
KORUPSI
indeksi presepsi korupsi di 2009. Semakin hijau menunjukan tingkat korupsi semakin rendah;
sedangkan semakin merah semakin tinggi tingkat korupsi sebuah Negara.
Korupsi atau Rasuah (bahasa latin: corruption dari kata
kerja corrumpere yang bermakana busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok) adalah tindakan penjabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri,
serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan
tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepadamereka
untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsure-unsur sebagai berikut:
v Perbuatan
melawan hokum,
v Penyalahgunaan
kewenangan. Kesempatan, atau sarana,
v Memperkaya
diri sendiri, orang lain atau korporasi dan
v Merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Jenis
tindak pidana korupsi diantaranya, namun bukan semuanya adalah
§ Memberi
atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
§ Peenggelapan
dalam jabatan,
§ Pemerasan
dalam jabatan,
§ Ikut
serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggaraan Negara),
§ Menerima
kratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggaraan Negara).
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korusi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah, pemerintah rentankorusi
dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam
bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk member dan menerima pertolongan,
sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korusi
adlah kleptokrasi yang arti harafiahnya pemerintah oleh para pencuri, dimana
pura-pura bertindka jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi
yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri
tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan
membuat solusinya sangatpenting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Tergatung
dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai poliyik ada yang legal di
satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Kondisi
yang mendukung munculnya korupsi
§ Konsentrasi
kekuasaan di pengambil keputusan yang tiadka bertanggung jawab langsung kepada rakyat,
seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
§ Kurangnya
transparansi di pengambilan keputusan pemerintah.
§ Kampanye-kampanye
politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal.
§ Proyek
yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
§ Lingkungan
tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
§ Lemahnya
ketertiban hokum.
§ Kurangnya
kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
§ Gaji
pegawai pemerintah yang sangat kecil.
Mengenai
kurangnya gaji atau pendapat pegawai negri dibanding dengan kebutuhan hidup
yang makin hari makin meningkat. Pernah dikupas oleh B Soedarsono yang
menyatakan antar lain: “pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya
korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji
penjabat-penjabat”. Namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut tidaklah
mutlak karena banyaknya factor yang bekerja dan saling memengaruhi satu sama
lain.
Kurangnya
gaji bukanlah factor yang paling menentukan, orang-orang yang berkecukupan
banyak yang melakukan korupsi. Namun kurangnya gaji dan pendapatan pegawai
negeri memang factor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya
korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam dalam tulisannya
berjudul “Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No.
2, 1980: 123). Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa “ Indonesia dibagian
pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar
golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekedar cukup untuk makan selama dua
minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai
mencari tambahan dan banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang
ekstra untuk pelayanan yang diberikan”. (sumber buku “Pemberantas Korupsi karya
Andi Hamzah, 2007).
§ Rakyat
yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian
yang cukup ke pemilihan umum.
§ Ketidakadanya
kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”.
Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap
pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata
pemerintah yang baik (good governance)
dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan
legislative mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan
kebijaksanaan: korupsi system pengadilan menghentikan ketertiban hokum; dan
korupsi di pemerintahan public menghasilkan ketidak seimbangan dalam pelayanan
masyarakat. Secara umum, korupsimenghancurkan proses formal. Korupsi di
pemilihan umum dan badan legislative mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di
pembentukan kebijaksanaan; korupsi di system pengadilan menghentikan ketertiban
hukum; dan korupsi di pemerintah public menghasilkan ketidak seimbangan dalam
pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari
pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan penjabat
diangkat atau dinaikan jabatan bukan Karena prestasi. Pada saat yang bersmaan,
korupsi mempersulit legitimasi pemerintah dan nilai demokrasi seperti
kepercayaan dan toleransi.
Ekonomi
korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi
kualitas pelayanan pemerintah.
Korupsi juga
mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efesienan
yang tinggi. Dalam sector private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran illegal, ongkos manajemen dalam negosiasidengan
penjabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Walaupun ada yang mengatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan
mempermudah birokrasi, consensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa
ketersediaan sogokan menyebabkan penjabat untuk membuat aturan-aturan baru dan
hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga
mengacukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi
dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang
tidak efesien.
Korupsi menimbulkan distorsi
(kekacauan) di dalam sector public dengan mengalihkan investasi public ke
proyek-proyek masyarakat yang mna sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
Penjabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan
praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi
juga mengurangi pemenuhansyarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup,
atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintah
dan infrastruktur; dan menambah tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para parakar ekonomi memberikan
pendapatbahwa salah satu foktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika
dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang
menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital invest) ke luar negri,
bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar
bahwa ada dictator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali
dengan dictator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari
semuanya (meminta sogok) nemun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan,
melalui investasi infrastruktur, ketertiban hokum, dan lain-lain.
Pakar dari Universitas
Massachussetts memperkirakan dari tahun 1996, pelarian modal dari0 negara
sub-Saharaberjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri
mereka sendiri (hasilnya, dalam artian pembangunan atau kurangnya pembangunan).
Telah dibuatkan modelnya dalam satuy teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam
kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik dan juga
kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegal asset-aset pemerintah lama
yang sering didapat dari korupsi. Ini memberikan dorongan bagi para penjabat
untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari
ekspropriasi pada masa depan.
Kesejahteraan
umum Negara
Korupsi
politis ada dibanyak Negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya.
Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi
sogok, bukannya rakyat l uas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus
membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan
perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro_bisnis” ini hanya
mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan
besar kepada kampanye pemilu mereka.
Bentuk-bentuk
penyalahgunaan
Korupsi
mencakup penyalahgunaan oleh penjabat pemerintahseperti penggelapan dan
nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sector swasta dan pemerintahan
seperti penyogokan, pemerasan, campur tangan dan penipuan.
§ Penyogokan:
penyogokan dan penerima sogokan
Korupsi
memerlukan dua pihak yang koru: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima
sogokan. Dibeberapa Negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup
sehari-hari meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyonggokan.
Negara-negara
yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan
Negara-negara yang paling sering member sogokan. Dua belas Negara yang paling
minim korupsinya, menurut survey persepsi( anggapan tentang korupsi oleh
rakyat) oleh Transparansi Internasional pada tahun 2001 adalah sebagai berikut:
Ø Australia
Ø Kanada
Ø Denmark
Ø Finlandia
Ø Islandia
Ø Luxembung
Ø Belanda
Ø Selandia
Baru
Ø Norwegia
Ø Singapura
Ø Swedia
Ø Swiss
Ø Israel
Menurut
survey persepsi korupsi, tiga belas Negara yang paling korup adalah:
Ø Azerbaijan
Ø Bangladesh
Ø Bolivia
Ø Kamarun
Ø Indonesia
Ø Irak
Ø Kenya
Ø Nigeria
Ø Pakistan
Ø Rusia
Ø Tanzania
Ø Uganda
Ø Ukraina
Namun,
nilai dari survey tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan
persepsi subyektif dari para peserta survey tersebut, bukan dari perhitungan
langsung korupsi yang terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada).
§ Sumbangan
kampanye dan “uang haram”
Di
arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit
lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gossip
menyangkut politisi.
Politisi
terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan
keuangan untuk kampanye mereka. Seiring mereka terlihat untuk bertindak hanya
demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan
munculnya tuduhan korupsi politis.
Tuduhan
korupsi sebagai alat politik
Sering
terjadi dimana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan
tuduhan korupsi. Di republic Rakyat Tiongkok, fenomena ini digunakan oleh Zhu
Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik
mereka.
Mengukur
korupsi
Dalam
artian statistic, untuk membandingkan beberpa Negara, secara alami adalah tidak
sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi
Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolak
ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks persepsi Korupsi (berdasarkan dari
pendapat para ahli tentang seberapa korup Negara-negara ini). Barometer Korupsi
Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka
dengan korupsi), dan survei pemberi sogok, yang melihat seberapa rela
perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparan Internasional juga
merbitkan Laporan Korupsi Global: edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi
politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi. Termasuk
sejumlah Indikator Kepemerintahan.
Korupsi
di Indonesia bekembang secara
sistematik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran
hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan
korupsi antar Negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Keadaan
ini bisa menyebabkan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin ditingkatkan
oleh pihak yang berwenang.
Perkembangan
korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun
hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberntasan
korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat.
Dalam
perbandingan korupsi antar Negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan
dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sebenarnya pihak yang
berwenang, seperti KPK (komisi pemberantasan Korupsi) telah berusaha melakukan
kerja maksimal. Tetapi antara kerja yang harus digarap jauh lebih banyak
dibandingkan dengan tenaga dan waktu yang dimiliki KPK.
B.
KOLUSI
Di
dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industry di
saat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama.
Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoly, dimana
keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan
memengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi
berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.
Kolusi
merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara
tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan
pemberian uang atau fasilitas tertentu (Gratifikasi) sebagai pelican agar
segala urusannya menjadi lancer. Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi
dalam proyek pengadaan barang dan jasa atertentu (umumnya dilakukan
pemerintah). Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:
§ Penggunaan
broker (perantara) dalam pengadaan
barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui
mekanisme G 2 G (pemerintah ke
pemerintah) atau G 2 P (pemerintaah
ke produsen), atau dengan kata lain secara langsung. Broker disini biasanya
adalah orang yang yang memiliki jabatan atau kerabatnya.
Jadi
secara garis besar, kolusi adalah kemunafikan secara bersama untuk melawan
hokum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggaradengan pihak lain
yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara.
Cara
penyegahannya perusahaan (atau Negara) membuat perjanjiaan kerjasama yang sehat
dengan perusahaan (atau Negara) lain yang dianggap tidak merugikan orang banyak
untuk mencegah kolusi.
C.
NEPOTISME
Nepotisme
berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan
berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai
contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara,
bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer
tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologitelah
mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri,
sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Kata
nepotisme berasal dari kata latin
nepos, ysng bersr ti “keponakan” atau “cucu”. Pada abadpertengahan beberapa
paus katoli dan uskup yang telah mengambil janji “chastity”, sehingga biasanya tidak mempunyai anak
kandung-memberikan keduukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti
kepada anaknya sendiri.
Beberapa
paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi manajer
cardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan “dinasti” kepausan. Contohnya, paus kallistus
III, dari keluarga Borja, menganggkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah
satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisi kardinalnya sebagai batu loncatan
ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI.
Kebetulan
Aleksander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi
kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan
nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun)
sebagai kardinal.
Praktek
seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla
kepausan Romanum decet pontificem
pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluuh masa untuk
mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara dengan
pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan
seorang Kardinal.
Di
Indonesia, tuduhan adanya nepotisme bersama dengan korupsi dan kolusi
(ketiganya disingkat menjadi KKN dalam pemerintahan Orde Baru, dijadikan
sebagai salah satu pemicu gerkan reformasi yang mengakhiri kekuasaan preasiden
Soeharto pada
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar