Nama : Khoirul imam
Semester / Prodi : 2, PAI A
MK : Ilmu kalam
SEJARAH BERDIRINYA AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Secara generik pengertian Ahlusunnah Wa al Jama’ah (selanjutnya
disebut Aswaja atau Sunni) adalah mereka yang selalu mengikuti perilaku Sunnah
nabi dan para sahabatnya (ma ana ‘alaihi al-yaum wa ashhabi). Aswaja
adalah golongan pengikut yang setia mengikuti ajaran-ajaran Islam yang
dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya.
Sedangkan menurut Dhofier, Aswaja dapat diartikan sebagai para pengikut
tradisi nabi dan kesepatan ulama (Ijma’ ulama). Dengan menyatakan diri sebagai
pengikut nabi dan ijma’ ulama, para Kiai secara eksplisist membedakan dirinya
dengan kaum moderis Islam, yang berpegang teguh hanya al-Qur’an dan al-Hadist
dan menolak ijma’ ulama.[1]
Sebelum istilah Aswaja untuk menunjuk pada kelompok, madzhab, atau kekuatan
politik tertentu, ada beberapa istilah yang digunakan untuk memberi
identifikasi terhadap aliran dan kelompok yang nantinya dikenal sebagai Aswaja.
Marshall Hadgson menyebutnya Jama’i Sunni, sedangkan pakar lain
menyebutkan Proto Sunnisme (embrio aliran sunni). Akan tetapi,
istilah yang paling umum digunakan adalah Ahlusunnah wa al Jama’ah dan Ahlusunnah
wa al Jama’ah wa al-atsar. Istilah ini digunakan oleh kelompok madzhab Hambali
untuk menyebut kelompok dirinya yang merasa lebih berpegang pada perilaku nabi
dan menentang kelompok rasionalis, filosofis, dan kelompok sesat.
Secara generik pengertian Ahlusunnah Wa al Jama’ah (selanjutnya
disebut Aswaja atau Sunni) adalah mereka yang selalu mengikuti perilaku Sunnah
nabi dan para sahabatnya (ma ana ‘alaihi al-yaum wa ashhabi).Aswaja
adalah golongan pengikut yang setia mengikuti ajaran-ajaran Islam yang
dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya.
Selama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab
yang dalam masalah aqidah mengikuti Imam Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al
Maturidi, dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan
dalam bertawasuf mengikuti imam Abu Qasim al Junaedi dan imam Abu Hamid al
Ghazali.
Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu
nampak begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan
definisi yang sangat eksklusif. Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu
harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah
madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al-fikr (cara berpikir)
tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in
yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi
politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya
sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih
dari realitas sosio-kultural maupun sosio-politik yang melingkupinya.
Ahlusunnah tidak bisa terlepas dari kultur bangsa Arab “tempat Islam tumbuh
dan berkembang untuk pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab
adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa
hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai
besar padang pasir watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan
diantara mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil.
Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan
dan kebersamaannya, Rasulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat
menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar ideologi atau
iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang
dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan qabilahmenjadi kefanatikan
agama (ghiroh islamiyah).
Jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan
kesejajaran martabat dan fitrahmanusia. Namun dasar watak alami bangsa arab
yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum
dikebumikan benih-benih perpecahan, genderang perselisihan sudah mulai
terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti
Rosulullah (peristiwa bani Saqifah).
Perselisihan internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan
periodik terus berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi
perpecahan menjadi sangat beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi
seakan-akan masalah agama, dan aja juga masalah-masalah agama dijadikan
legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan.
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi
yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak
dengan diangkatnya Ustman Bin Affan sebagai kholifah pengganti
Umar bin Khattab oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang
meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi
pendukung Ali waktu itu.
Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedi besar dalam sejarah umat Islam
yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Ustman oleh putra Abu Bakar
yang bernama Muhammad bin Abu Bakar. Peristiwa ini yang menjadi latar belakang
terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikutnya
keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehingga
dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqohseperti
Qodariyah, Jabbariyah, Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlussunnah. Melihat
rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik
garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang
politik.
0 komentar:
Posting Komentar