BAB I
PEMBAHASAN
A.
SYEKH MUHAMMAD ABDUH
1.
Riwayat Singkat Syekh
Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh, nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.
Beliau lahir di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah (Mesir) pada tahun
1849 M. Beliau bukan berasal dari keturunan yang kaya dan bukan pula keturunan
bangsawan. Namun demikian, ayah beliau di kenal sebagai orang terhormat yang
suka member pertolongan.
Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tanta belakangan tempat
ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namun sistem pengajaran disana
sangat menjengkelkannya sehingga setelah 2 tahun disana, beliau memutuskan
untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kerabatnya.
Ketika kembali ke desa, beliau dinikahskan. Pada saat itu beliau berumur 16
tahun, semula beliau bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi beliau
kembali belajar atas dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mempengaruhi
kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Atas jasanya itu,
Abduh berkata “Ia telah membebaskan ku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbing
ku menuju ilmu pengetahuan”.
Setelah menyelesaikan studinya di bawah bimbingan pamannya, Abduh
melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan Februari 1866. Tahun 1871, Jamaluddin
Al-Afghani tiba di Mesir. Ketika itu Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar
menyambut kedatangannya. Beliau selalu menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya
dan beliau pun menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Al-Afghani pulalah yang
mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang social dan politik. Artikel-artikel
pembaharuanya banyak dimuat pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar,
di Dar Al-Ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika Al-Afghani di usir dari Mesir
pada tahun 1879 karena di tuduh mengadakan gerakan perlawanan terhadap Khedewi
Taufiq, Abduh juga di tuduh ikut campur didalamnya. Ia di buang ke luar dari
kota Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia diperbolehkan kembali ke ibukota,
kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir Al-Waqa’I Al-Mishriyyah. Pada waktu itu
kesadaran nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan Abduh, surat kabar
resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di samping
berita-berita resmi.
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh, ketika
itu masih memimpin surat kabar Al-waqa’I,
dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah Mesir
memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberikan hak
kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih Suriah. Di
Negeri ini, beliau menetap selama setahun. Kemudian beliau menyusul gurunya
Al-Afghani yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan majalah al-Urwah al-Wusqa pada tahun 1884.
Karya-karyanya yang dibuat disurat kabar banyak menghendaki kebebasan
berfikir dan modern. Pendapatnya mulai mengarah juga kepada para fukaha yang
masih memperselihkan masalah furuiyyah. Yang bertujuan mendirikan Pan-Islam
menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh
surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang
bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir.
Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai beliau menginggal dunia pada tahun 1905.
2.
Pemikiran-Pemikiran
Kalam Muhammad Abduh
a.
Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagai
mana diakuinya sendiri, yaitu: Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan
pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf
al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan;
yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Quran. Memperbaiki gaya bahasa
Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah
maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan pokok itu muncul ketika beliau meratapi perkembangan umat
Islam pada masanya. Sebagaimana di jelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat Islam
saat itu dapat di gambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup
rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at
Allah atau meng-istinbat-kan
hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para
pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan
yang sangat besar kepada akal. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal
berikut:
a)
Tuhan dan
sifat-sifat-Nya;
b)
Keberadaan hidup di
akhirat;
c)
Kebahagiaan jiwa di
akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan
kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan
perbuatan jahat;
d)
Kewajiban manusia
mengenal Tuhan;
e)
Kewajiban manusia
untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat;
f)
Hukum-hukum mengenai
kewajiban-kewajiban itu.
Abduh berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan,
keduanya dapat disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal bertentang maka ada dua
kemungkinan :
1)
Wahyu sudah diubah
sehingga sudah tidak sesuai dengan akal;
2)
Kesalahan dalam
menggunakan penalaran.
Pemikiran semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa islam
adalah agama yang umatnya bebas berfikir secara rasional sehingga mendapatkan
ilmu pengetahuan dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana
yang telah dimiliki oleh bangsa barat saat itu, dimana dengan ilmu pengetahuan
mereka menjadi kreatif, dinamis dalam hidupnya.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas,
dan dapat di ketahui pula sebagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu
adalah penolong (al-mu’in). Kata ini
ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu, katanya
menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat,
mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya,
menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan
mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian,
wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan
menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
b.
Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai
kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia.
Kalau sifat dasar ini di hilangkan dari dirinya, ia bukan manusia lagi, tetapi
makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan
yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan
selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
c.
Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah
apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal
itu terletak diluar kemampuan manusia. Dengan demikian Nasution melihat bahwa
Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun
tidak secara tegas mengatakannya.
d.
Kehendak Mutlah Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa
Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlah-Nya dengan
memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatanya.
Kehendak mutlah Tuhan pun dibatasi oleh sunnahtullah
secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnahtullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti
bahwa tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah telah membatasi kehendak-Nya
dengan sunnahtullah yang
diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.
e.
Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh
mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau alam ini bukan hanya dari
segi kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia.
Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak
satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa mamfaat bagi manusia.
f.
Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada
akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil
bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan
sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab
kepadanya.
g.
Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat
rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan
kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang pecaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang
menyerupai Tuhan) sepakat menyatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun
dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya
kepada orang-orang tertentu di akhirat.
h.
Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham
dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa
yang terbaik bagi manusia.
B.
MUHAMMAD IQBAL
1.
Riwayat Hidup Muhammad
Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal dari
keluarga kasta Brahmana Khasmir.
Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama beliau adalah
ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’an.
Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish
Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, beliau diberi pelajaran
agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di
Sialkot, beliau pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan
belajarnya di Government College, Di
sana ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru
besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.
Ketika belajar di kota India, Beliau menawarkan beberapa konsep pemikiran
seperti, perlunya pengembangan ijtihad dan dinamisme Islam. Pemikiran ini
muncul sebagai bentuk ketidak sepakatnya terhadap perkembangan dunia Islam
hampir enam abad terakhir. Posisi umat Islam mengalami kemunduran. Pada
perkembangan Islam pada abad enam terakhir, umat islam bearada dalam lingkungan
kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad sebagai simbol peradaban ilmu
pengetahuan dan agama pada pertengahan abad 13.
Dua tahun kemudian beliau pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini,
beliau memperoleh gelar Ph. D dalam tasawuf
dengan disertasinya yang berjudul The
Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).
Beliau tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari
Munich, beliau menjadi advokat dan juga sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Thought in
Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan
merupakan karyanya terbesar dalam bidang filsafat.
Pada tahun 1930, beliau memasuki bidang politik dan menjadi ketua
konferensi tahunan Liga Muslim di
Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1992, beliau ikut dalam
Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada
bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan untuk membicarakan
pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, beliau jatuh sakit dan
bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan
beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.
2.
Pemikiran Kalam
Muhammad Iqbal
Islam dalam pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam
bersifat statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui
adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia.
Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan beliau
terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman yang dinamis tentang
Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut beliau adalah
membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global
dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika manusia
yang selalu berubah. Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang
oleh beliau disebutnya sebagai prinsip
gerak dalam struktur Islam.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang
kekakuan serta kejumudan hokum Islam,
ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut beliau, peralihan
kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga
legislative Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk
menggerakkan spirit dalam sistem hokum Islam yang selama ini hilang dari umat
Islam dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih
lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihat
kedalam tiga tingkatan, yaitu:
Pertama, Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis
hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja;
Kedua, Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu
madzhab;
Ketiga, Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hokum dalam kasus-kasus
tertentu dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.
a.
Hakikat Teologi
Secara umum beliau melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi keimanan,
mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya
terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan
kebebasmerdekaan”. Pandangannya tentang ontology teologi membuatnya berhasil
melihat anomali (penyimpanan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik.
b.
Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, beliau menolak argumen kosmologis maupun ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur
ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, beliau menerima landasan teleologis yang imamen (tetap ada). Untuk menopang hal ini, beliau menolak
pandangan yang statis tentang matter
serta menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tidak berhenti.
Karakter nyata konsep tersebut ditemukan beliau dalam “jangka waktu murninya
Bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu murni”,
ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian).
c.
Jati diri manusia
Faham dinamisme beliau
berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya
tentang persoalan ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu diartikan
dengan kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta
menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan
pribadinya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa
sehingga fana dengan Allah.
d.
Dosa
Beliau secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang
kebebasan ego manusia yang bersifat
kreatif. Dalam hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam
(karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang
“kebangkitan manusia dari kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah
kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga
mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya
ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memiliki”.
e.
Surga dan Neraka
Surga dan Neraka, kata beliau adalah keadaan, bukan tempat.
Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah
penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka,
menurut rumusan Al-Qur’an adalah “api Allah yang menyala-nyala dan yang
membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan
manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi
berbagai gorongan yang menuju kepada perpecahan.
C.
SAYYID AHMAD KHAN
1.
Riwayat Singkat Sayyid
Ahmad Khan
Beliau lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu
keterangan, beliau berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Melalui
Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az Zahra. Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar
istana pada zaman Alamghir II (1754-1759). Sejak kecil, Beliau mendapat didikan
tradisional dalam pengetahuan agama. Beliau belajar bahasa Arab dan juga bahasa
Persia. Beliau rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Ketika berusia delapan belas tahun, beliau bekerja pada Serikat India Timur.
Pengaruhnya beliau di Serikat India Timur khususnya di dunia Islam diakui cukup
besar. Beliau pengliham utama kebangkitan orang Islam di masa abad 19, langsung
atau tidak langsung beliau berperan dalam pengorganisasian beberapa gerakan
masa dan gerakan reformis diseluruh umat Islam. Di dalamnya termasuk gerakan
modernis dan khalikah di india, gerakan nasionalis dan modernis di Mesir,
gerakan persatuan dan kemajuan di Turki. Kemudian bekerja pula
sebagai hakim, tetapi pada tahun 1846 beliau kembali ke Delhi dan mempergunakan
kesempatan itu untuk belajar.
Di kota Delhi inilah beliau dapat melihat langsung
peninggalan-peninggalan kejayaan Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan
pemuda muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud
Khan, dan Nawab Aminuddin, Semasa di Delhi, beliau mulai mengarang. Karya
pertamanya adalah Asar As-Sanadid,
pada tahun 1855 beliau pindah ke Bijnore. Di tempat ini, beliau tetap mengarang
buku-buku penting Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan
kekacauan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang
India. Ketika melihat keadaan rakyat Delhi, beliau sempat berpikir untuk
meninggalkan India menuju Mesir, tetapi beliau sadar bahwa beliau harus
memperjuangkan umat Islam India agar menjadi maju. Beliau berusaha mencegah
terjadinya kekerasan dan banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan, hingga
diberi gelar Sir, tetapi beliau
menolaknya.
Pada tahun 1861 beliau mendirikan sekolah Inggris di Maradabad dan Ghaziur untuk para pelajar yang ingin
menuntut ilmu. Pada tahun 1878 beliau mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan
karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan umat Islam
India.
Membentuk All
India Muhammadan Educational Conference yang bertujuan untuk memajukan
pendidikan Islam di bidang kaum muslim. Sebagai pemikir Islam di bidang
Pendidikan, banyak karya tulis yang di hasilkannya seperti tafsir Alqur’an 6 jilid, Tabyin
al-Kalam 1862 tentang bible dan Asbab
Baghawat i-Hind 1858 dan Essai and the
life of Muhammad 1870 (biografi Nabi Muhammad). Hingga akhir
ayatnya beliau selalu mementingkan pendidikan umat Islam India dan meninggal
dunia pada tahun 1989.
2.
Pemikiran Kalam Sayyid
Ahmad Khan
Beliau mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesdir,
setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari
pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya,
terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya.
Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan pecaya akan
kebenaran wahyu, beliau berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan kekuatan
akal pun terbatas.
Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan beliau percaya bahwa
manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti
bahwa beliau mempunyai faham yang sama dengan faham Qadariyah. Menurutnya, beliau telah dianugerahi Tuhan berbagai
macam daya, diantaranya adalah daya berfikir berupa akal, dan daya fisik untuk
merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan terhadap hokum alam dan
kerasnya mempertahankan konsep hokum alam, beliau dianggap kafir oleh sebagian
umat Islam. Bahkan ketika dating ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani
menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin
mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd
Ad-Dahriyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).
Sejalan dengan faham Qadariyah
yang dianutnya, ia menentang keras faham aklid.
Beliau berpendapat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti
perkembangan zaman. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa Tuhan telah
menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi setipa makhluk-Nya
yang tetap dan tidak pernah berubah, Menurut beliau, Islam agama agama yang
paling sesuai dengan hokum alam, karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan
Al-Qur’an adalah firman-Nya maka sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak
ada pertentangan.
Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hokum alam, beliau tidak
mau pemikirannya tergantung otoritis Hadist dan Fiqh. Segala sesuatu diukurnya
dengan kritis rasional. Beliau pun menolak semua yang bertentangan dengan
logika dan hokum alam. Beliau hanya mau mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman bagi
Islam, sedangkan yang lain hanya bersifat membantu dan kurang begitu
penting.Alasan penolakan beliau terhadap Hadist adalah karena Hadist berisi
moralitas sosial dari masyarakat Islam pada abad pertama atau kedua sewaktu
hadist tersebut dikumpulkan. Sedangkan hokum Fiqh, menurut beliau adalah berisi
moralitas masyarakat berikutnya sampai saat timbulnya mazhab-mazhab. Beliau
menolak taklid dan membawa Al-Qur’an untuk menguraikan relevansinya dengan
masyarakat baru pada zaman itu.
Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, beliau memandang
perlu diadakannya ijtihad-ijtihat
baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan
kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam peradaban Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW terjadi berbagai
macam paham dalam ajaran Islam dimana umat Islam terpecah-pecah dan pemikir
kalam yang bermacam-macam dalam berpaham ajaran Agama Islam. Di antaranya
pemikiran kalam yang terkenal pada masa sekarang adalah:
1.
Syehk Muhammad Abduh
2.
Muhammad Iqbal
3.
Sayyid Ahmad Khan
Dari ketiga tokoh ulama ini kita dapat mengambil pelajaran di mana para
ulama tersebut rela berkorban dalam menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya di
dunia Islam yang mana umat Islam pada masa hidup para ulama ini sampai sekarang
sudah lalai dengan kenikmatan dunia. Oleh sebab itu ketiga tokoh ulama ini
mengajak umat Islam untuk kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak,M.Ag, Drs Abdul
dan Anwar,M.Ag, Drs. Rosihon. 2006. Ilmu
Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia.
F Hasan, Abdillah.
2004. Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam,
Surabaya: Jawara.
Ahmad, Drs.H.Muhammad.
1997. Tauhid Ilmu Kalam, Bandung:
Pustaka Setia.
Ahmad, Jamil. s2003. Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
0 komentar:
Posting Komentar