I. PENDAHULUAN
Ijtihad merupakan sebuah upaya untuk menggali suatu
hokum yang sudah ada sejak zaman Rasul, dan ijtihad itu di lanjutkan oleh para
sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya,bahkan sampaisaat ini.
Pada periode tertentu ijtihaad itu di buka, dan pada
saat yang lain di tutup, lalu setelah itu di buka kembali, karena ijtihad
meupakan sebuah keharusan untuk menghadapi berbagai permasalahan yang belum
pernah terjadi pada masa Rasul, juga banyaknya permasalahan yang semakin
kompleks.
Pada saat ini banyak di temukan beberapa perbedaan
madzhab dalam hokum islam, dan hal itu di sebabkan oleh adanya ijtihad, dengan
adanya ijtihad ini semakin tampaklah kesempurnaan islam, dengan itu juga islam
bisa menjawab dan menghadapi berbagai problematika yang beraneka ragam dan
semakin kontemporer.
Ijtihad ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui
suatu hokum melalui dalil-dalil syar’I yaitu Al-qur’an, Al-hadits dengan cara
istinbath.
Adapun mujtahid mereka adalah ahli fiqih yang
menghabiskan dan mengerahkan seluruh kesanggupanya untuk mendapatkan hokum
syar’i.
Adanya ijtihad ini sangat berpengaruh pada
perkembangan fiqih pada masa shahabat, karena dengan ijtihad ini banyak di
temukan hokum-hukum yang belum terjadi pada masa Rasul dan bisa menjawab atas
kejadian tersebut. Hal ini sangat bermanfaat bagi generasi selanjutnya dan para
pengikutnya.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian ikhtilaf dan ijtihad
Adapun kata ijtihad berasal dari kata إجتهد يجتهد
إجتهاداً
yang artinya adalah mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban dalam
segala perbuatan.
Adapun ma’na secara istilah adalah sebuah usaha
sungguh-sungguh yang di lakukan oleh seorang mujtahid untuk mencapai putusan
syara’ pada sebuah kejadian yang belum pernah ada dalam Al-qur’an maupun
Al-hadits.
Sebagian ulama’ lain mendefinisikan ijtihad adalah إستفراغ الجهدوبذل غا ية
الوسع في إستنبات الأحكام الشرعية
وأمّا في تطبيقها yang artinya adalah usaha sungguh
sungguh dengan mengerahkan segala kekuatan, baik untuk memutuskan hokum syar’I
ataupun untuk menerapkanya.
Imam Asy-syaukani memberikan definisi ijtihad adalah:
mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hokum syar’I yang bersifat
operasional dengan cara beristinbath (mengambil kesimpulan hokum).
Dari definisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa
ijtihad adalah mencurahkan fikiran untuk mendapatkan hokum syar’I dengan salah
satu dalil syar’I dan dengan cara tertentu.
B. Dasar-dasar dalam ijtihad
An nahl :43
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ
رِجَالاً نُوحِى إِلَيْهِمْ فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ
لاَتَعْلَمُونَ
Artinya “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali
orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
Al anbiya’: 7
وَمَآأَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلاَّ
رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ
لاَتَعْلَمُونَ
“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu
(Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tiada mengetahui.”
Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi
ولما بعث النبي معاذ بن جبل إلى اليمن
قاضيا، قال له: (كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟) قال: أقضي بكتاب الله تعالى، قال: فإن
لم تجد ؟ قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: فإن لم تجد؟ قال: أجتهد
رأيي ولا آلو، قال معاذ: فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم في صدري وقال: الحمد
لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله
Artinya: Ketika Nabi mengutus Sahabat Muadz bin Jabal
ke Yaman sebagai hakim Nabi bertanya: Bagaimana cara kamu menghukumi suatu
masalah hukum? Muadz menjawab: Saya akan putuskan dengan Quran. Nabi bertanya:
Apabila tidak kamu temukan dalam Quran? Muadz menjawab: Dengan sunnah
Rasulullah. Nabi bertanya: Kalau tidak kamu temukan? Muadz menjawab: Saya akan
berijtihad dengan pendapat saya dan tidak akan melihat ke lainnya. Muadz
berkata: Lalu Nabi memukul dadaku dan bersabda: Segala puji bagi Allah yang
telah memberi pertolongan pada utusannya Rasulullah karena Nabi menyukai sikap
Muadz.
Hadits muttafaq alaih (Bukhari Muslim) dan Ahmad
Artinya: Apabila seorang hakim
membuat keputusan apabila dia berijtihad dan benar maka dia mendapat dua pahala
apabila salah maka ia mendapat satu pahala.
C. Sebab-sebab terjadinya ikhtilaf
Di antara sebab yang menyebabkan para sahabat
berbeda pendapat adalah:
Ikhtilaf bisa saja muncul karena hawa nafsu, namun
ikhtilaf ini tercela, karena maknanya ia menjadikan hawa nafsu sebagai dalil
syara’, dan ikhtilaf ini bukan merupakan ikhtilaf yang di tolerir oleh syar’i.
Sedangkan ijtihad yang di bolehkan oleh syari’at
adalah jika hal itu tyerjadi karena beberapa sebab. Di antaranya ada dua
bagian:
a) Sebab ikhtilaf karena dalil
– Adanya lafadh
yang mengandung beberapa ma’na, ataupun ma’na yang mengandung penakwilan.
– Adanya beberapa
lafadh yang mengandung ma’na haqiqi dan majazi, seperti dalam surat Al-ma’idah
ayat 6, lafadh “menyentuh” bisa saja berarti menyentuh dengan tangan ataupun
jima’.
– Penggunaan dalil
antara yang umum dan khusus.
– Perbedaan bacaan
Al-qur’an dan pandangan mereka terhadap periwayatan hadits.
– Berbeda pendapat
tentang ada dan tiadanya nasakh hokum.
– Terlupakan atau
tidak d perhatikanya suatu hadits.
b). sebab ikhtilaf karena kaidah ushul
Termasuk dalam hal ini yaitu memahami satu kata
perintah, apakah satu perintah tersebut menimbulkan hokum wajib ataukah tidak,
apakah berlaku muqoyyad ataukah muthlaq, dan lain-lain.
D. Macam-macam ikhtilaf
1) Ikhtilaf tercela
Adapun jenis-jenis ikhtilaf adalah sebagai berikut:
Adapun jenis-jenis ikhtilaf adalah sebagai berikut:
a) Ikhtilaf yang antara kedua belah
pihak di cela sebagaimana firman Allah وَمِنَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا
نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُوا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوا بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَسَوْفَ يُنَبِّئُهُمُ اللهُ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
Artinya” Dan diantara orang-orang yang
mengatakan:”Sesungguhnya kami orang-orang Nasrani”, ada yang telah kami ambil
perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang
mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan diantara mereka
permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan
kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan”. [Al-Maidah : 14]
b) Merupakan jenis daripada ikhtilaf
adalah andanya 2 kelompok kaum muslim dalam masalah firi’iyyah tanawwu’dan
masing masing mengingkarikebenaran yang di miliki oleh orang lain
c) Ikhtilaf yang salah satu pihak
dicela dan satu lagi dipuji (karena benar).
Ini disebut dengan ikhtilaf tadhadh (kontradiktif) yaitu salah satu dari dua pendapat adalah haq dan yang satu lagi adalah bathil. Allah telah berfirman “Artinya : Akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan” [Al-Baqarah : 253]
Ini (ayat di atas) adalah pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan kekufuran. Adapun pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan bid’ah adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits iftiraq.
Ini disebut dengan ikhtilaf tadhadh (kontradiktif) yaitu salah satu dari dua pendapat adalah haq dan yang satu lagi adalah bathil. Allah telah berfirman “Artinya : Akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan” [Al-Baqarah : 253]
Ini (ayat di atas) adalah pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan kekufuran. Adapun pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan bid’ah adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits iftiraq.
Artinya : Kaum Yahudi terpecah menjadi 71
firqah (kelompok), kaum Nashara menjadi 72 firqah, dan ummat ini akan terpecah
menjadi 73 firqah, semuanya (masuk) didalam neraka kecuali satu. Ditanyakan :
“Siapakah dia wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab : “orang yang berada diatas
jalan seperti jalan saya saat ini beserta para sahabatku” dalam sebagian
riwayat : “dia adalah jama’ah”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
bahwa semua firqah ini akan binasa, kecuali yang berada diatas manhaj salaf
ash-shaleh. Imam Syathibi berkata : “Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam [illa waahidah] telah menjelaskan dengan sendirinya bahwa kebenaran itu
hanya satu, tidak berbilang. Seandainya kebenaran itu bermacam-macam, Rasul
tidak akan mengucapkan ; [illa waahidah] dan juga dikarenakan bahwa ikhtilaf
itu di-nafi (ditiadakan) dari syari’ah secara mutlak, karena syari’ah itu
adalah hakim antara dua orang yang berikhtilaf. Berdasarkan firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala. “Artinya : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)”.
[An-Nisaa : 59]
Jenis ikhtilaf inilah yang dicela oleh Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
2) Ikhtilaf yangboleh
Ini juga ada dua macam yaitu :
a) Ikhtilafnya dua orang mujtahid
dalam perkara yang diperbolehkan ijtihad di dalamnya.
Sesungguhnya termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat ini. Dia menjadikan dien (agama) ummat ini ringan dan tidak sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang lapang. Allah berfirman.
“Artinya : Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [Al-Hajj : 78]
Sesungguhnya termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat ini. Dia menjadikan dien (agama) ummat ini ringan dan tidak sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang lapang. Allah berfirman.
“Artinya : Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [Al-Hajj : 78]
Diantara rahmat ini adalah tidak memberikan beban dosa
kepada seorang mujtahid yang salah bahkan ia mendapatkan pahala karena
kesungguhannya dalam mencari hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman.
“Artinya : Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu salah padanya” [Al-Ahzab : 5]
Dari Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Apabila ada seorang hakim mengadili maka ia
berijtihad, lalu ia benar (dalam ijtihadnya) maka ia mendapatkan dua pahala,
apabila ia mengadili maka ia berijtihad, lalu ia salah maka ia mendapatkan satu
pahala” [Hadits Riwayat Imam Bikhari]
[b]. Ikhtilaf Tanawwu
Contohnya adalah ikhtilaf sahabat dalam masalah bacaan
(Al-Qur’an) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata :”Saya mendengar seseorang membaca ayat yang saya pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya berbeda dengan orang itu,
maka saya pegang tangannya lalu saya bahwa kehadapan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Saya laporkan hal itu kepada beliau, namun saya melihat
tanda tidak suka pada wajah beliau, dan beliau bersabda.
“Artinya : Kalian berdua bagus (bacaannya), jangan berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa”.
“Artinya : Kalian berdua bagus (bacaannya), jangan berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa”.
E. Kriteria mujtahid
Seseorang yang menggeluti fiqih, belum bisa sampai
pada tingkat mujtahid kecuali jika memenuhi beberapa syarat, sebagian syarat
ada yang telah di sepakati dan sebagian yang lain masih di perselisihkan.
Adapun syaratnya adalah sebagai berikut.
Mengetahui Al-qur’an.
Al-qur’an merupakan sumber hukum islam yang utama
sebagai pondasi dasar hokum islam. Oleh karena itu, maka seorang mujtahid harus
mengetahui Al-qur’an secara mendalam, karena orang yang tidak mengetahui
Al-qur’an sudah tentu ia juga tidak mengerti syari’at islam secara utuh.
Mengenai Al-qur’an tidak cukup dengan pandai dan
piawai saja, namun ia juga harus melihat bagaimana Al-qur’an memberikan sebuah
cakupan terhadap ayat-ayat hokum .
– Mengetahui
Asbabun-nuzul,
Mengetahui asbaabun-nuzul ayat merupakan salah satu
syarat mengetahui Al-qur’an secara komprehensif, karena dengan mengetahui
sebab-sebab turunya ayat akan memberikan analisis yang komprahensif dalam
memahami maksud di turunkanya Al-qur’an tersebut kepadamanusia.
Imam Asy-syatibi dalam kitabnya Almuwaafaqaat
mengatakan bahwa mengetahui asbaabun-nuzul merupakan sebuah keharusan bagi
orang yang hendak memahami Al-qur’an, kenapa bisa demikian?,
Sebuah pembicaraan akan berbeda pengertian dan
pemahaman sesuai dengan perbedaan keadaan.
Tidak mengetahui sebab turunya ayat bisa menyebabkan
pada sebuah keraguan dan kesulitan, juga bisa membawa pada pemahaman global
terhadap pemahaman sebuah nash syar’i yang bersifat lahir, sehingga sering
menimbulkan sebuah perselisihan.
– Mengetahui
nasikh mansukh.
Hal ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada
yang berdalih untuk menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya yang
telah di nasikh dan dalilnya sudah tidak di pergunakan untuk berdalil
Mengetahui As-sunnah.
Syarat selanjutnya yang harus di miliki oleh seorang
mujtahid adalah mengetahui as-sunnah, yaitu ucapan, perbuatan, ataupun sebuah
ketetapan yang telah di tetapkan oleh Nabi dan telah di riwayatkan dari Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Beberapa hal yang harus di ketahui antara lain:
Mengetahui ilmu dirayah hadits
Pengertian dari Ilmu Hadits Diroyah yang di berikan
oleh Al-ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan hadits yang shahih
dari yang rusak dan hadits yang bisa di terima dari hadits yang di tolak.
Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadits
dan ilmunya, berkaitan dengan ilmu tentang para perowi hadits, syarat-syarat di
terimanya hadits atau di tolaknya suatu hadits, tingkatan kata dalam menetapkan
adil dan cacatnya sebuah hadits, dan hal lain-lain yang tercakup dalam ilmu
hadits, lalu mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam menggunakan hadits
sebagai dasar hokum.
Mengetahui hadits yang nasikh dan mansukh.
Mengetahui hadits yang nasikh dan mansukh ini
bertujuan agar seorang mujtahid tidak berpegang sebuah hadits yang sudah jelas
hukumnya telah di hapus dan tidak di pergunakan lagi, seperti hadits yang
membolehkan nikah mut’ah, yang mana hadits tersebut telah di nasakh oleh
hadits lain secara pasti.
Mengetahui asbabul-wurud hadits
Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang
seharusnya menguaasai asbaabun nuzul.
Mengetahui bahasa arab.
Seorang mujtahid harus mengetahui bahasa arab agar
penguasaanya pada obyek kajian lebih mendalam
Mengetahui tempat-tempat ijma’.
Seorang mujtahid harus mengetahui hokum-hukum yang di
sepakati olehpara ulama’,sehingga tidak terjerumus memberikan sebuah fatwa yang
bertentangan dengan hasil ijma’.
Mengetahui ushul fiqih.
Seorang mujtahid juga harus mengetahui ilmu ushul
fiqih, yaitu suatu ilmu yang telah di susun oleh para fuqoha’ untuk meletakkan
kaidah-kaidah dan cara-cara untukmengambil istinbath hokum dari sebuah naash
dan mencocokkan cara pengambilan hokum yang tidak ada nash dan hukumnya.
Dalam ushul fiqih , seorang mujtahid di tuntut untuk
memahami qiyas sebagai modal pengambilan ketetapan hokum.
Mengetahui maqoshidusy-syari’ah.
Syari’at islam di turunkan dalam rangka melindungi dan
memelihara kepentingan manusia. Pemeliharaan ini di katagorikan dalam tiga tingkatan,
di antaranya
– Dhoruriyat, yaitu apabila sesuatu itu di
langgar akan mengancam jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan.
– Hajiyat, yaitu kelapangan hidup, seperti
member rukhsoh pada sebuah kesulitan.
– Tahsiniyat, yaitu perlengkap yang terdiri
dari kebiasaan dan akhlaq yang baik.
Mengetahui manusia dan kehidupan sekitarnya.
Seorang mujtahid juga harus mengetahui keadaan
zamanya, masyarakatnya, permasalahanya, aliran keyakinanya,politiknya, agamanya
dan mengenal hubungan masyarakat dengan masyarakat lain juga sejauh apa
interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut.
Bersifat adil dan taqwa.
Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah di
formulasikan oleh para mujtahid benar-benar proposional karena memiliki sifat
adil, jauh daripada kepentingan politik dalam istinbath hukumnya.
F.Implikasi dari perbedaan para sahabat
Para sahabat radhuyalaahu ‘anhum, meskipun mereka
berbeda pendapat dalam masalah furu’, namun mereka tetap teguh dan jauh dari
perpecahan, mereka tetap teguh menjaga kesatuan mereka, sebagai contoh dalam
pembacaan basmalah secara jahriyyah, ada sebagian mereka yang mengatakan bahwa
hal itu di syari’atkan, sementara yang lain mengatakan bahwa hal demikian tidak
di syari’atkan. Demikian juga dalam permasalahan menyentuh wanita setelah usai
berwudlu, sebagian mereka berpendapat membetalkan dan sebagian yang lain
mengatkan tidak membatalkan, sekalipun demikian mereka tetap sholat di belakang
seorang imam dan mereka tidak mau meninggalkan shalat di belakang imam di karenakan
perbedaan pendapat tersebut.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Ijtihad adalah mencurahkan fikiran untuk mendapatkan
hukum syar’I dengan salah satu dalil syar’I dan dengan cara tertentu.
Para shabat tetap bersatu walaupun mereka mempunyai
perbedaan pendapat, sehingga tidak menimbulkan iftiroq.
Adanya ikhtilaf ini berdampak pada perbedaan
hukum-hukum oleh para sahabat, generasi setelahnya hingga saat ini. Sehingga di
dapati ada beberapa ulama yang sering berbeda pendapat, namun semoga itu tidak
menjadikan mereka berpisah dan beriftiroq.
Allaahu wa rasuuluhu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar